mega melintas pada garis lazuardi
ada beberapa warna semu tergurat
menyusut sesaat oleh tiupan sang bayu
aku mendengar
rintihan duka pada gelegar halilintar
dan erang kepedihan pada badai
gemuruh alam menggoreskan luka-luka
di sudut ruang temaram
tangis dalam isak mengalun di malam sunyi
kilasan suara binatang malam menemani
engkaukah itu, ibu pertiwi?
tertunduk di gelap bersama rintik hujan
sepi dan meniadakan asa?
aku menoleh terpukau lukisan di dinding
warnanya kabur tersamar waktu yang terbang meluruhkan nilai-nilai
ada sosok-sosok terbaring dengan wajah pucat tanpa ekspresi
kaku dan tak ada gerak
sebahagian lagi berwajah kusam memegang peluru yang tak lagi utuh
bersama sebatang bambu lusuh dengan secarik kain di punca
pada latar belakang ada warna
merah dan putih
melekat di tiang yang nyaris patah
asap mengepul tanda sisa-sisa pertempuran
darah,
darah,
darah,
adalah tinta yang dicoreng di jalan-jalan
sebahagian di tembok
sebahagian di rerumputan
dan sebahagian lagi berdetak pada nadimu
apakah mereka satu?
tulang belulang mendesah
“ingatlah,
ingatlah kami
yang telah menembusi hujan peluru dan kekejaman interogasi
berpakaian compang-camping
berseragamkan luka dan cacad raga
kami tidak ingat medali dan surat penghargaan
kami hanya tahu,
untuk sejengkal tanah pertiwi
kami rela kehilangan nyawa dan harga diri”
aku lunglai berjalan
sementara itu ada lukisan dinding lain terlihat semarak
Rahwana memanggul Dewi Shinta
memakan tulang belulang dan menghisap darah
duduk meraja di pencakar langit
merah-putihku,
akankah kau kelam?
terbantingkah Garudamu dengan sayap-sayap yang patah?
...
(jawabnya ada pada jiwa tiap insan Nusantara)
MERDEKA ATAOE MATIE !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar